BAB I
PENDAHULUAN
A.  
Latar
Belakang Masalah
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat
yang tujuannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana
pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Filsafat juga
melatih untuk berpikir kefilsafatan secara umum dengan mencakup filsafat,
pengetahuan, ilmu, dasar-dasar pengetahuan dan lain sebagainya.[1]
Penalaran merupakan suatu proses
berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada
hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak.
Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui
kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang
dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran
mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir
logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau
menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya,
menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan
untuk analisis tersebut aalah logika penalaran yang bersangkutan, artinya
kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu. Tidak
semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan
intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka
dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan.
Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk
menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti
perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif
menusia melainkan ditawarkan atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk
melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan
materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham
rasionalisme) dan fakta (paham empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya
merupakan gabungan penalaran deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan
induktif (terkait dengan empirisme).
Penalaran merupakan proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu
mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu
cara tertentu. Penarikan kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan
dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut
dengan logika.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari
pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan
(knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan
“what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar
menjawab “what” melainkan akan menjawab pertanyaan “why” dan “how”, misalnya
mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia
bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa
sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut
terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.[2]
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.[2]
Manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan makhluk atau benda mati lain di bumi ini. Manusia adalah makhluk
berfikir yang bijaksana (homo sapiens). Keunggulan manusia sebagai makhluk yang
berbudaya dan beradab makin menjulang oleh ketekunannya memantau berbagai
gejala dan peristiwa seantero alamnya. Setiap pengalaman manusia meninggalkan
jejak berupa pengetahuan (knowledge). Hal inilah yang kemudian
meningkatkan pengetahuan manusia sampai pada perwujudannya sebagai ilmu (science)
Ilmu adalah terjemahan dari kata science, yang
berasal dari kata scinre, artinya to know. Sifat ilmu pengetahuan
alam kuantitatif dan obyektif. Ilmu merupakan suatu usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang
berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun
dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif
yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual.
Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi,
eksperimen, klasifikasi dan analisis. Ilmu itu obyektif dan mengesampingkan
unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral. Ilmu tidak dipengaruhi oleh
sesuatu yang bersifat kedirian, karena dimulai dengan fakta, ilmu merupakan
milik manusia secara komprehensif.
B.  
Rumasah
masalah 
a.    Apa yang dimaksud
dengan ontologi ?
b.    Apa yang
dimaksud dengan epistemologi
c.    Apa yang
dimaksud dengan aksiologi?
C.  
Tujuan  
a.    Ingin
mengetahui apa yang di maksud ontologi dalam filsafat ilmu?
b.    Ingin
mengatahui apa yang di  maksud
epistemologi dalam filsafat ilmu?
c.    Ingin mengetahui
apa yang dimaksud aksiologi dalam filsafat ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A.   DASAR-DASAR  ILMU PENGETAHUAN                    
Pengetahuan merupakan segala
sesuatu yg diketahui manusia. Suatu hal yang menjadi pengetahuan selalu terdiri atas unsur yang
mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin
diketahui. Karena itu pengetahuan menuntut adanya subjek yang mempunyai
kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu
yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya.
Burhanuddin Salam mengklasifikasikan bahwa pengetahuan
yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.    Pengetahuan
biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa pengetahuan
ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatau karena menerima
secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karen memang merah, orang
menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan seterusnya.
2.    Pengetahuan
Ilmu (science) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif,
seperti ilmu alam dan sebagainya.
3.    Pengetahuan
Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
4.    Pengetahuan
Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya.
Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.[3]
Jadi perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika
pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek
tertentu, sedangkan ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan
sistematis.[4]
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis
bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam
idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea
bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu. 
Istilah yang digunakan Rene Descartes
(1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut
rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan
dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang
dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristatoles dan para
penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis.
Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman
yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang
pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum
yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan
pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan
dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan
bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh
melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis
berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional.
Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam
kajian keilmuan.
Dasar ilmu pengetahuan secara subtansial yaitu
bertolak dari ontologi, epistemologi, aksiologi. Ketiga dasar ilmu pengetahuan
ini menunjukkan bahwa manusia dalam hidupnya harus dapat memahami apa yang akan
dilakukan,  bagaimana melakukan hal itu,
dan untuk apa hal itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, manusia harus
dapat membedakan antara hal-hal yang dapat dilihat , diraba dan dirasa.
Demikian juga harus dapat membedakan hal-hal yang bersifat kejasmanian dan
kejiwaan. Berikut dikemukakan dasar ilmu pengetahuan yang meliputi ontologi,
epitemologi dan aksiologi[5]
1.   
Ontologi
Ontologi yang berarti hakekat ilmu berasal dari bahasa
Yunani yaitu On/Ontos adalah ada, dan Logos adalah ilmu, sehingga ontologi
adalah ilmu tentang yang ada. Ontologi merupakan mempercayai keberadaan sesuatu
meski tidak terlihat mata, misalnya adalah udara yang dapat dirasakan. Menurut
istilah ontology adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak, menurut Jujun s. Suriasumatri
ontologi adalah yaitu berbicara tentang hakikat apa yang dikaji, Amsal Bakhtiar
mengemukakan bahwa ontologi adalah ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu
on/ontos yakni yang ada, dan logos yakni ilmu, sehingga ontologi adalah ilmu
tentang  yang ada, menurut istilah
ontologi adalah ilmu yang membahasa tentang hakikat yang ada, baik yang
berbentuk jasmani /.konkret maupun rohani abstrak.[6]   
Menurut angeles yang dikutib pendapatnya oleh fuad
hasan bahwa ontologi berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti “ yang
sungguh-sungguh ada”, kenyataan yang sesungguhnya” dan logos yang berarti “
studi tentang “ studi yang membahas sesuatu” . jadi ontologi adalah studi yang
membahasa sesuatu yang ada, secara sungguh-sungguh ontologi juga diartikan
sebagai metafisika umum yang cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari
keyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari kenyataan.[7]
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya
segala-galanya, meliputi yang ada sebagai wujud konkrit dan abstrak, indrawi
maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling
umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan tuhan, titik tolak dan
dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu
manusia sendiri dan dunianya.
Orang yang pertama kali mempopulerkan term ontology adalah
Rudolf Goclenius. Dengan teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis
yang dalam perkembangannya dibagi menjadi dua, yaitu metafisis umum dan
metafisis khusus.
a.    Metafisis
umum merupakan cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar dari
segala sesuatu yang ada.
b.    Matafisis
khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Setiap individu dihadapkan pada adanya dua macam
kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua
yang berupa rohani (kejiwaan). Dalam hal ini hakikat menunjukkan kenyataan
sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga
bukan kenyataan yang berubah. Pengkajian lebih dalam ontologi sebagian dasar
ilmu berusaha untuk menjawab apa yang menurut Aristoteles merupakan The
First Philosophy dan ilmu mengenai esensi benda.
Secara subtansial, di pemahaman ontology dapat
ditemukan pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a.    Monoisme
Paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal dari
seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paham ini terbagi
menjadi dua aliran yaitu :
1)    Materialisme
Menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran ini sering pula disebut dengan naturalisme, namun
sebenarnya ada sedikit perbedaan.
2)    Idealisme
Berasal dari kata idea yang berarti sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beragam itu
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang.
b.    Dualisme
Benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani.
c.    Pluralisme
Dalam Dictionary of Philosophy and Religion
dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari
banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.Nihilisme Berasal dari Bahasa
Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Pada dasarnya nihil disini
berarti ketiadaan. Tidak ada sesuatu yang ada, yang benar, yang berharga.
Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev. Namun doktrin nihilisme
sudah ada pada pandangan Gorgias (483-360SM) yang memberikan 3 proposisi
tentang realitas yaitu :
1)    Tidak ada
sesuatu pun yang eksis.
2)    Bila sesuatu
itu ada, ia tidak dapat diketahui.
3)    Sekalipun
realitas dapat diketahui, ia tidak dapat kita beritahukan kepada orang lain.
d.    Agnostisisme
Agnotisisme
berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti Unknown. A
artinya not, Gno artinya know. Paham ini mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Dick Hartoko berpendapat
Agnotisisme sama dengan skeptisisme yang menyangkal bahwa hakikat
sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan metafisik), apalagi
pengetahuan mengenai adanya Tuhan dan sifat-sifatnya. Agnotisisme hanya
menerima pengetahuan inderawi dan empirik. Tidak menerima adanya analogi.[8]
Menurut paradigma filsafat barat semua
orang mengakui memiliki pengetauan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu
diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat ? Dari situ timbul pertanyan
bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau darimana sumber pengetahuan
kita ? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai
alat yang menggunakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa
pendapat tentang sumber pengetahuan antaralain:
a.    Idealisme
idealisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa hakikat fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan
jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Idealisme atau nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya
peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin
idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat
memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah.
Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu
ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti
bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil
pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan
kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam
ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide
bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan
memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal
mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala
sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang
tampak dalam wujud nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b.    Empirisme
Paham selanjutnya adalah empirisme atau
realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai
sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan. Aristoteles (384-322 SM) yang
boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide
bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan
pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia.[9] 
Dalam paradigma empirisme ini,
sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk
menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki
arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme.
Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia
tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan
indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi. Berawal dari sinilah, John Locke
berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula
(kertas putih). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia
memiliki pengetahuan. Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil
pengamatan Indrawinya. Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa
pengetahuan manusia hanya didapatkan melalui pengamatan konkret, bukan
penalaran rasional yang abstrak, apalagi pengalaman kewahyuan dan institusi
yang sulit memperoleh pembenaran factual.
David Hume, salah satu tokoh empirisme
mengatakanbahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber
pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan
(empressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud
kean-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti
merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang
pengamatan yang samara-samar yang dihasilka dengan merenungkan kembali atau
terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[10]
Berdasarkan teori ini, akal hanya
mengelola konsep indrawi, hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut
atau membagi-baginya. Jadi dalam empirisme, sumber utamauntuk memperoleh
pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra. Akal tidak
berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1)    Indra
terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil?
Ternyata tidak. Keterbatasan indralah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini
akan terbentuk pengetahua yang salah.
2)    Indra
menipu, pada yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan tersa dingin.
Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga
3)    Objek
yang menipu, contohnya fammorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia ditangkap oleh indra, ia membohongi indra.
4)    Berasal
dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini indra mata tidak mampu melihat
seekor kerbau secara keseluruhan, dan kernau itu juga tidak dapt memperlihatkan
badanya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena
keterbatasan indra manusia.[11]
c.    Rasionalisme
Paradigma selanjutnya adalah
Rasionalisme, sebuah aliran yang menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh
melalui pertimbangan akal. Dalam beberapa hal, akal bahkan dianggap dapat
menemukan dan memaklumkan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta
empiris. Faham rasionalisme dipandu oleh tokoh seperti Rene Deskrates
(1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1716).
Menurut kelompok ini, dalam setiap benda sebenarnya terdapat ide – ide
terpendam dan proposisi - proposisi umum yang disebut proposi keniscayaan yang
dapat dibuktikan sebagai kebenaran yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran
dalam kesempurnaan atau keberadaan verifikasi empiris.[12] 
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan
akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Menurut aliran ini kekeliruan pada
aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi,
seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra
dalammemperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal
dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, etapi sampainya
mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut
rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan
dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan
tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca
indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya
menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan
konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud
dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud prinsip-prinsip
universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kuasalitas
atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya bagi empirisme hukum tersebut tidak
diakui.Harun nasution;
Akal, selain bekerja karena ada bahan indra, juga akal dapat menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorag dalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah yang utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat dilakukan.[13]
Akal, selain bekerja karena ada bahan indra, juga akal dapat menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorag dalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah yang utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat dilakukan.[13]
d.    Positivisme
Adanya problem pada empirisme dan
rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh
August Comte dan Immanuel Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat
penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat
bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau metahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau metahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan
oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri
sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang
bekerjasama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
2.   
Epistemologi
(Teori Pengetahuan)
Epistemologi juga disebut teori
pengetahun (theory of Knowledge). Secara
etimologi istilah epietemologi berasal dari kata Yunani, Epistime,(Pengetahuan) dan Logos ( Teori). Epistemologi dapat
didefenisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika
pertanyaan pokoknya adalah apaka ada itu? Sedangkan dalam epistemologi pertanyaan
pokoknya adalah apa yang dapat saya ketahui?[14]
Epistimologi pada intinya membicarakan
tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Berasal
dari kata Yunani yaitu episteme, artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan
logos artinya juga pengetahuan atau informasi. Jadi dapat dikatakan
epistimologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan. Ataudakalanya disebut
“teori pengetahuan”, dan adakalanya disebut filsafat pengetahuan.[15] 
Cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
a.    Metode
Induktif (Induksi)
Metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil
obeservasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dick Hartoko
berpendapat induksi berasal dari bahasa latin inducere yang berarti
mengantar ke dalam, yang secara sederhana merupakan suatu metode, khusus dalam
ilmu alam, yang menuju dan menyimpulkan sebuah hipotesa umum dengan berpangkal
pada sejumlah gejala sendiri-sendiri.[16]
b.    Metode
Deduktif (Deduksi)
Suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik
diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang
harus ada dalam metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
c.    Metode
Positivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di
luar yang ada sebagai fakta. Apa yang diketahui secara positif adalah segala
yang tampak dan segala gejala. Metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi pada bidang gejala-gejala saja.
d.    Metode
Kontemplatif
Keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi yang dapat
diperoleh dengan berkontemplasi.
e.    Metode
Dialektis
Dialektis atau dialektika berasal dari bahasa Yunani Dialektike
yang berarti cara/metode berdebat dan berwawancara yang diangkat menjadi sarana
dalam memperoleh pengertian yang dilakukan secara bersama-sama mencari
kebenaran.[17]
Burhanuddin Salam mengklasifikasikan bahwa pengetahuan
yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
a.    Pengetahuan
biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa
pengetahuan ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatau
karena menerima secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karen memang
merah, orang menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan
seterusnya.
b.    Pengetahuan
Ilmu (science) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif,
seperti ilmu alam dan sebagainya.
c.    Pengetahuan
Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
d.    Pengetahuan
Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya.
Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama
e.    Jadi
perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika pengetahuan (knowledge)
adalah hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu, sedangkan ilmu
(science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.
Teori yang menjelaskan epistemologis
adalah sebagai berikut :
1.   
Teori korespondensi
Menurut teori korespondensi, kebenaran
atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau
pendapat tersebut. Dengan demikian, kebenaran epistemologis adalah
kemanunggalan antara subjek dan objek. Pengetahuan ini dikatakan benar apabila
didalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif
terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak
dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar
sesuai dengan apa yang ada di dalam
Suatu proposisi atau pengertian adalah
benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia
menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang
berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[18]
Dengan demikian, kebenaran dapat
didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif . yaitu, suatu pernyataan
yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran
adalah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual: atau
antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.
Mengenai teori korespondensi tentang
kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut :
Dua hal yang sudah diketahui sebelumnya,
yaitu pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian
antara pernyatan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : « Jakarta adalah ibu kota Republik
Indonesia ». pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya Jakarta memang
ibukota Republik Indonesia. Kebenarannta terletak pada hubungan antara
pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan Bandung adalah ibukota
Republik Indonesia, pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan
dengan kenyataan.
Suatu proposisi itu cenderung untuk
benar jika proposisi itu saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain
yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi yang saling
berhubungan dengan pengalaman kita. Kepastian mengenai kebenaran
sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat
diragukan kebenarannya, sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang
bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan
kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan
kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan sebagai
kepastian yang yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau
dianggap salah.
Misalnya jika seseorang mengatakan
bahwa, “ITB berada di kota Bandung,” maka pernyataan tersebut adalah benar,
sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual yakni Bandung, memang
kota dimana ITB berada. Apabila ada orang lain yang menyatakan bahwa “ITB
berada di kota Medan,” maka pernyataan itu adalah tidak benar, sebab tidak
terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini, maka secara faktual,
“ITB bukan berada di kota Medan, melainkan Bandung.”
Misalnya lagi, seseorang mengatakan,
“wah lagi hujan nih!” bisa jadi benar, jika pernyataan itu berhubungan dengan
realitasnya. Tapi terkadang maksud pernyataannya lebih kepada sindiran, godaan
atau yang bersifat menyesatkan. Sehingga secara semantik, pernyataan ini dapat
menjadi benar atau salah. Dalam hal ini, yang menjadi tolak ukur kebenarannya,
suatu pernyataan haruslah objektif (seperti yang sudah dijelaskan tadi, sesuai
dengan realitasnya), misalnya, “wah lagi hujan nih!” memang pernyataan yang
berhubungan dengan cuaca pada saat itu, dan bebas dari pikiran seseorang.
Misalnya pernyataan “wah lagi hujan nih!” diucapkan sebagai sindiran atas orang
yang suka berbicara sambil menyemburkan sedikit liur.
Dua kesukaran utama yang didapatkan dari
teori korespondensi adalah: (1) teori korespondensi memberikan gambaran yang
menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu
kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak
pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang
kepercayaannya masing-masing. Misalnya William, si penulis buku Introduction to
Philosophy, dapat mengatakan bahwa pernyataan, “wah lagi hujan nih!” dapat tidak
sesuai dengan realitas karena pernyataan tersebut tidak cocok dengan pernyataan
lain yang ia anggap benar, misalnya: “jika lagi hujan, dan saya diluar, pasti
saya kebasahan.”; tetapi nyatanya ia diluar; dan ia tidak kebasahan. (2) Teori
korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita
harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.[19]
2.   
Teori pragmatisme Tentang kebenaran
Teori selanjutnya adalah teori
pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma,
artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi
filsafat yang dikembangkan oleh Wiliam James di Amerika Serikat. Menurut
filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan
manfaat.
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran
dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar
apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam
praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh
kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran
ialah apa saja yang berlaku.[20]
Misalnya ada orang yang menyatakan
sebuah teori A dalam komunikasi, dan dengan teori A tersebut dikembangkan
teknik B dalam meningkatkan efektivitas komunikasi, maka teori A itu dianggap
benar, sebab teori A ini adalah fungsional atau mempunyai kegunaan.
Evaluasi dari pragmatisme: pragmatisme
memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan
kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang
terbaik dari keseluruhan teori. Untuk sesaat, penganut pragmatis mengatakan
bahwa suatu pernyataan itu benar karena dipercayai sebagai sesuatu yang pragmatik,
yang terbuka bagi penganut teori korespondensi. Contoh nyatanya adalah peta.
Penganut pragmatis akan berkata bahwa peta adalah gambaran yang akurat mengenai
realitas, karena dapat berguna untuk menunjukkan jalan; sedangkan penganut
teori korespondensi berkata bahwa kita dapat menggunakan peta untuk menunjukkan
jalan karena peta merupakan gambaran dari realitas.
John H. Randall, Jr dan Justus Buchler
memberikan kritik pada teori ini: bahwa istilah “berguna” atau “fungsional” itu
sendiri masih samar-samar. Lalu A.C. Ewing juga memberikan kritik bahwa apa
yang berlaku bagi seseorang mungkin saja tidak berlaku bagi orang lainnya;
bahkan apa yang berlaku bagi seseorang di waktu tertentu, mungkin saja tidak
berlaku bagi dirinya sendiri di waktu yang lain. Misalnya kepercayaan akan
adanya Tuhan.
3.   
Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari
kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui
agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalaan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun
tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan
akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah
wahyu yang bersumber dari tuhan.[21]
Suatu hal itu dianggap benar apabila
sesuai dengan ajaran agama atau wayu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh
karena itu, sangat wajar ketika Imam al-Ghazali merasa tidak puas dengan
penemuan-penemua akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Akhirnya al-Ghazali
sampai pada kebenaran yang kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses
yang panjang. Tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala
sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai
kebenaran multak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi.
Namun al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya
kebenaran yang didapat adalah kebenaran sujektif atau inter-subjektif.
3.   
Aksiologis
Berasal dari perkataan Axios (Yunani) yang
berarti nilai dan Logos yang berarti teori. Aksiologi merupakan teori
tentang nilai. Jujun S. Sumantri berpendapat aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Louis
O. Kattsoff mendefinisian aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
tentang hakikat segala sesuatu[22]
Bramel berpendapat aksiologi terbagi dalam tiga
bagian.
a.    Moral
conduct
Tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus,
yakni etika.
b.    sthetic
expression
Ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
c.    Sosio-political
life
Kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosio politik.
Nilai adalah objek penting yang dibahas dalam
aksiologi. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan
estetika. Etika menilai perbuatan manusia, Estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya. Solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai harus ada
transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang
menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakiki
untuk memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar
akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak selalu mengarahkan ilmu pengetahuan
pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Pada dasarnya semakin tinggi tingkat
perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti dengan aturan atau hukum
yang bisa menjamin rasa keadilan masyarakat. Membericarakan nilai dengan cara
mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi
berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa pada hal-hal
yang buruk.
Masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan teknologi
bersifat merusak sehingga terdapat perbedaan pendapat diantara para ilmuwan
yang terbagi menjadi dua golongan pendapat. Pertama berpendapat bahwa ilmu
harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun
aksiologis. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berdaskan nilai-nilai moral. Atas dua pendapat diatas,
terlihat jelas netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja. Dimana tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis
dan aksiologis para ilmuwan semestinya mampu menilai mana yang baik dan mana
yang buruk. Karena pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat.
Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah
mengenai nilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah
etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, Sedangkan estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. 
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan
nilai-nilai adalah harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada
konteknya, dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu
pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami
eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak
mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada kemudahan-kemudahan material
duniawi. M. Saekhan Muchith mencontohkan bahwa dari
proses penurunan ayat-ayat Al Quran tentang hukum lebih banyak diturunkan di
Madinah yang relatif sudah ada perkembangan peradabannya. Ini berarti
mengandung makna bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia
harus segera diikuti dengan aturan atau hukum yang bisa menjamin rasa keadilan
masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa solusi yang diberikan Al Quran
terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara
mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi
berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Dihadapkan dengan masalah nilai moral dalam ekses ilmu
dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan
kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdaskan
nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas
ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada
siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan
aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk,
yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang
kuat. 
B.   Jenis-Jenis Ilmu
Pengetahuan
Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan
terutama untuk kehiupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Pengetahuan ilmiah atau ilmu adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya digunakan saja
tetapi ingin mengtahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya,
tetapi masih berkisar pada pengalaman.
Ilmu abadi yaitu pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan
kepada manusia dalam bentuk kitab suci alquran dan hadist yang disampaikan
kepada manusia melalui perantara rasul sebagai utusan Tuhan, ilmu jenis ini
merupakan suatu bentuk yang sudah pasti benar dan tidak berubah serta dapat
dibuktikan dalam situasi,kondisi dan zaman apapun.
Ilmu yang dicari yaitu pengetahuan yang didapat oleh
manusia sebagai hasil dari usaha mencari suatau definisi alam semesta, ilmu
jenis ini dapat berubah entah itu bertambah maupun berkurang sesuai dengan
hasil riset penemuan manusia sebagai makhluk yang dibekali akal. sebuah ilmu
bisa dianggap benar dimasa lalu namun bisa jadi sudah tidak cocok dimasa depan
ketika dilakukan penelitian baru.
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang tidak
mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan
hakiki sampai diluar dan diatas pengalaman biasa. Pengetahuan agama, suatu
pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosulnya.
Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.[23]
Manusia berusaha mencari
pengetahuan dan kebenaran, yang dapat diperolehnya dengan melalui beberapa
sumber :
1.    Intuisi
Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan yang
didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalnya, seseorang yang
sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang
berliku-liku, tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas
permasalahan yang sedang dipikikannya, muncul dalam benaknya, bagaikan kebenaran
yang menemukan pintu.
Atau bisa juga dikatakan, intuisi ini bekerja dalam
suatu keadaan yang tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan mabuk). Artinya,
jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara
sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang
kemudian kita tunda (pending) karena menemui jalan buntu, tiba-tiba
muncul dalam benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Lalu kita merasa yakin
bahwa itulah jawaban yang sedang kita cari, namun kita tidak bisa (belum bisa)
menjelaskan bagaiman caranya kita sampai ke sana.
Intuisi biasanya bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan atau direka-reka. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara
teratur, maka intuisi ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun pengetahuan intuitif
ini bisa juga digunakan sebagai hipotesis bagi analisis
selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang
telah kita kemukakan.
Intuisi merupakan pengetahuan yang
didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang
sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban
atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang
dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan
pintu. Suatu masalah yang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui
jalan buntu, tiba-tiba muncul dibenak kita yang lengkap dengan
jawabannya.[24]
Selanjutnya menurut Jujun (2005: 53),
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuisi dapat
dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar
tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling
membantu dalam menentukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi merupakan pengalaman
puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietzchen intuisi merupakan inteligensi
yang paling tinggi.
Menurut Henry Bergson dalam A. Tafsir,
intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip
dengan insting, tetapi berbeda dengan dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan
ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami
kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Instuisi ini menangkap objek
secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, akal dan indera hanya mampu
menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangka instuisi dapat
menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap. Ada sebuah isme lagi yang barang
kali mirip dengan intusionisme, yaitu ilumirasionisme. Aliran ini berkembang
dikalangan tokoh agama, yang didalam agama Islam disebut Ma’rifah, yaitu
pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.
Pengetahuan tersebut akan dieroleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah
siap, dan telah sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Selanjtnua menurut Amsal Bakhtiar kemampuan
menerima secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan ( riyadhah). Metode
ini secara umum dipakai dalam Thariqat dan Tasawuf. Konon kemampuan orang-orang
itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka
dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu
mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan
pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukanlewat akal, melainkan
lewat hati.
Adapun perbedaan antara intuisis dengan
ma’rifat dalam filsafat Barat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat
perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam ma’rifat
diperoleh lewat perenungan dan penyinara.[25]
Pengetahuan dan pencerahan ini dapat
dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi
melibatkan objek diluar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan
bahwa pengetahuan yang luas harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya
sendiri (H.A Mustafa, 1997: 106).
Wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya yang diutusnya sepanjang
zaman. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa susah
payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi
atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucian jiwa mereka dan
diterangkan-Nyapula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan
kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia
lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan
karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu
mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia
tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan yang berasal dari nabi. 
Agama merupakan pengetahuan bukan saja
mengenali kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup
masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan
manusia dan hari kiamat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan
akan hal-hal yang ghaib (supernatural).Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan
sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan
terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dari penyusunan pengetahuan
ini.
Kepercayaan merupakan titik tolak dalam
agama. Suatu pernyataan harus dipercaya untuk dapat diterima. Pernyataan ini
bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional bisa dikaji
umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya bersifat
konsisten atau tidak. Dipihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta
yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai dengan
rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayan itu bisa meningkat
atau menurun. Pengetahuan itu bersifat lain –seperti pengetahuan –bertitik
tolak sebaliknya, ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui
proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula
2.    Pengetahuan Wahyu
Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas
dasar  wahyu yang diberikan oleh tuhan
kepada manusia.tuhan telah memberikan pengetahuan dan  kebenaran kepada manusia pilihannya, yang
dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan
firman tuhan. Kebenarannya adalah mutlak dan abadi, pengetahuan wahyu bersifat
eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia[26]
Wahyu juga merupakan salah satu sumber pengetahuan,
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan semacam ini hanya
disalurkan lewat makhluk-makhluk pilihan-Nya. Agama, merupakan sumber
pengetahuan yang bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau
pengalaman/empiri, tetapi juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental;
yakni seperti latar belakang penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di akhirat
nanti, dan sebagainya.
Pengetahuan semacam ini, mutlak didasarkan kepada
kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat ghaib (supernatural).
Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, keselamatan,
ketenangan jiwa, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara
penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Bukankah suatu
kepercayaan merupakan "titik tolak" dalam suatu agama ?.
Suatu pernyataan itu biasanya harus dipercaya dulu
untuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode
lain. Misalnya : Secara rasional dapat dikaji apakah
pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten
atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta
yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Dengan kata lain, agama dimulai
dengan rasa percaya, dan dengan melalui pengkajian selanjutnya kepercayaan itu
bisa meningkat (bertambah) atau bahkan menurun (berkurang).
Pengetahuan lain, misalnya seperti ilmu, bertitik tolak
sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses
pengkajian ilmiah, kita bisa saja bertambah yakin atau barangkali tetap pada
pendirian semula. 
Wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya yang
diutusnya sepanjang zaman. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa
upaya, tanpa susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya.
Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucian
jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh
kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan ini merupakan
kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan
manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan
mereka berasal dari Tuhan karena pengetahuan itu memang ada pada saat
manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang
diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali
menerima dan membenarkan yang berasal dari nabi.[27]
Agama merupakan pengetahuan bukan saja
mengenali kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar
belakang penciptaan manusia dan hari kiamat nanti. Pengetahuan ini didasarkan
kepada kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supernatural). Kepercayaan
kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi
sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian,
merupakan dari penyusunan pengetahuan ini.
Kepercayaan merupakan titik tolak dalam
agama. Suatu pernyataan harus dipercaya untuk dapat diterima.
Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain.Secara rasional bisa
dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya
bersifat konsisten atau tidak. Dipihak lain, secara empiris
bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak.
Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya
kepercayan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan itu bersifat
lain –seperti pengetahuan –bertitik tolak sebaliknya, ilmu dimulai dengan
rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa
diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.
3.    Pengetahuan Rasional
Pengetahuan
rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dari latihan rasio /akal semata,
tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa –peristiwa faktual.[28] 
Rasionalisme
adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur
pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal itulah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal
artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis benar; bila tidak
salah. Dengan akal inilah aturan untuk manusia dan alam itu dibuat. Ini juga
berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal Teori rasionalis adalah teori
para filosof Eropa seperti Descartes (1596– 1650) dan Immanuel Kant ( 1724 –
1804 ) dan lain-lain. Teori-teori tersebut terangkum dalam kepercayaan adanya
dua sumber bagi konsepsi. 
a.    Penginderaan
(sensasi). Kita mengkonsepsikan panas, cahaya, rasa, dan suara karena
penginderaan kita terhadap semua itu.
b.    Kedua,
fitriah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi
yang tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitriah.
Jiwa menggali gagasan tertentu dari dirinya sendiri
Menurut
Muhammad Baqir Ash-Shadr ada penafsiran lain tentang teori rasionalisme adalah
bahwa gagasan-gagasan fitri itu ada dalam jiwa secara potensial. Ia mendapatkan
sifat fitri bukan bersumber dari indera. Tetapi ia dikandung oleh jiwa tanpa
disadarinya. Meskipun demikian, dengan integrasi jiwa, ia menjadi pengetahuan
dan informasi yang kita ingat kembali, lantas bangkit secara baru sama sekali,
setelah sebelumnya ia tersembunyi dan ada secara potensial.
BAB III
KESIMPULAN
1.   
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos adalah ada,
dan Logos adalah ilmu, sehingga ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut
istilah ontology adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Rudolf Goclenius (1636 M) Orang
yang pertama kali mempopulerkan term ontology. 
Dalam persoalan ontology orang menghadapi persoalan bagaimanakah
kita mernerangkan hakikat dari segala yang ada ini?. Pertama kali orang
dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa
materi (kebenaran) dan kedua yang berupa rohani (kejiwaan).
2.   
Epistemologi, Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh
manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, di antaranya adalah:
A.   Metode Induktif,  
B.   Metode Deduktif,.
C.   Metode Positivisme, 
D.   Metode Kontemplatif, 
E.   Metode Dialektis
3.   
Aksiologi, aksiologi berasal dari perkataan Axios
(Yunani) yang berarti nilai dan Logos yang berarti teori. Jadi aksiologi
secara sederhana merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan
menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian.
Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan
disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life,
yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
Oleh karena
itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai adalah harus ada
transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang
menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya,
yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar
akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan
“melulu” pada kemudahan-kemudahan material duniawi. M. Saekhan Muchith
mencontohkan bahwa dari proses penurunan ayat-ayat Al Quran tentang hukum lebih
banyak diturunkan di Madinah yang relatif sudah ada perkembangan peradabannya.
Ini berarti mengandung makna bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan
peradaban manusia harus segera diikuti dengan aturan atau hukum yang bisa
menjamin rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa solusi yang
diberikan Al Quran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah
dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia
menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa
mudharat.
DAFTAR PUSTAKA
A, Qadir C.2002, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Obor
Indonesia, 
Bakhtiar Amsal ,2004, Filsafat Ilmu,
Cet. I, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Bakhtiar Amsal, 2013, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bagus,
Lorens, 1996, Kamus Filsafat,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Cecep Sumarna,2006 Filsafat Ilmu (dari Hakikat menuju Nilai), Bandung: Pustaka Bani
Quraisy
Endang Komar, 2011 Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian ( Bandung: Refika Aditama.
Fuad
Hasan, Filsafat Ilmu, ( Jakarta. PT.
Rineka Cipta, 2010) hal.223
Hadi, Hardono, 1997, Epistemologi;
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: kanisius,
J.
Sudarminta, Epistemologi
Dasar: 2002, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius
Latif Mukhtar .2014, Irientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu,
Jakarta : Kencana Prenadamedia Group 
MA, Zainuddin, 2006, “Filsafat Ilmu”. Lintas Pustaka. Jakarta
Rachman, Maman, dkk.2008,. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT MKU Universitas Negeri
Semarang.
Salam Burhanuddin, 1997, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan,
cet. I, Jakarta : Rinika Cipta, 1
Suriasumantri, Jujun S.2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta : Sinar Harapan
Supriyadi,
Dedi,2009, “Pengantar filsafat Islam”.
Pustaka Setia. Bandung
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta : Sinar Harapan, 2005 
Tim Filsafat Ilmu Fakultas UGM, 2010, Filsafat Ilmu, Sebagai Dasar Pengembangan
ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty. 
Tafsir Ahmad, 2002 Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung :
Remaja Rosdakarya,
Tafsir Ahmad ,2010, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan  ( Bandung: Rosda Karya.
Http://Cahya-Sumirat.Blogspot.Com/
diakses
pada hari Sabtu pukul 09:30  WIB tanggal
6 Desember 2014
ABSTRAK
Ilmu
filsafat selalu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis atas kemapanan jawaban
yang sudah dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Pada zaman sekarang ilmu
pengetahuan tidak lagi bagian dari filsafat, akan tetapi filsafat merupakan
bagian ilmu pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari proses mencari tahu,
dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat.
Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep - konsep,
baik melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman. Pada umumnya jenis
pengetahuan dibagi menjadi 6 yaitu pengetahuan langsung (immediate),
pengetahuan tak langsung (mediated), pengetahuan indrawi (perceptual),
pengetahuan konseptual (conceptual), pengetahuan partikular (particular),
pengetahuan universal (universal). Jenis - jenis pengetahuan ditinjau dari
sudut bagaimana pengetahuan itu diperoleh, bukan pada bahasan value atau nilai
dari pengetahuan tersebut adalah pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan
ilmiah atau ilmu pengetahuan, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam diri seseorang adalah
pendidikan, informasi/ media massa, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan,
pengalaman, usia. Hakikat dari pengetahuan terdapat dua aspek penting yaitu
hal-hal yang diperoleh, dan realitas yang berubah. Sumber dari pengetahuan itu
sendiri adalah intuisi, rasional, empirikal atau indra, dan wahyu.
[1] Rachman, Maman, dkk.. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT MKU
Universitas Negeri Semarang. 2008,hal.67
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. I, Pt. Raja
Grafindo Persada, Jakarta: 2004,hal.125
[3] Burhanuddin
salam ,Logika Materil; Filsafat Ilmu
Pengetahuan, cet. I, Jakarta : Rinika Cipta, 1997.hal. 48
[4] Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 2003.hal. 56
[5] Mukhtar Latif. Irientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2014. Hal,77
[6]
A, Qadir C.,
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Obor Indonesia,
2002.hal,167
[7]
Fuad Hasan, Filsafat Ilmu, ( Jakarta. PT. Rineka Cipta, 2010) hal.223
[10] Amsial
Bakhtiar 
[11] Hadi,
Hardono, Epistemologi; Filsafat
Pengetahuan, Yogyakarta: kanisius, 1997
[12] 
Endang Komar, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian ( Bandung: Refika Aditama.2011) 143
[13] .Op.Cit.
Jujun S. Suriasumantri;1998.hal.39
[14]
Tim Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, Sebagai Dasar Pengembangan
ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty. 2010, hal 32
[15] Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996) hal. 212
[16] J.
Sudarminta, Epistemologi
Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 32.
[17] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hal. 149
[18] http://cahya-sumirat.blogspot.com/
diakses
pada hari Sabtu pukul 09:30  WIB tanggal
6 Desember 2014
[19] Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002.hal.178
[21]
Supriyadi, Dedi, “Pengantar filsafat Islam”. Pustaka
Setia. Bandung, 2009.hal.134
[22] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan  ( Bandung: Rosda Karya.
2010) hal, 86
[23] Cecep
Sumarna, Filsafat Ilmu (dari Hakikat
menuju Nilai), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006, hal.90
[24]Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta : Sinar Harapan,
2005 )hal. 53.
[25] Op.Cit.
Burhanudin Salam, 78
[27]  Op.Cit.
H.A. Mustafa.Hal 107
[28] Op.Cit. Fuad Hasan. Hal.167
