Selasa, 10 Februari 2015

filsafat ilmu

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang tujuannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Filsafat juga melatih untuk berpikir kefilsafatan secara umum dengan mencakup filsafat, pengetahuan, ilmu, dasar-dasar pengetahuan dan lain sebagainya.[1]
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut aalah logika penalaran yang bersangkutan, artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu. Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme).
Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab “what” melainkan akan menjawab pertanyaan “why” dan “how”, misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.[2]
Manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan makhluk atau benda mati lain di bumi ini. Manusia adalah makhluk berfikir yang bijaksana (homo sapiens). Keunggulan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab makin menjulang oleh ketekunannya memantau berbagai gejala dan peristiwa seantero alamnya. Setiap pengalaman manusia meninggalkan jejak berupa pengetahuan (knowledge). Hal inilah yang kemudian meningkatkan pengetahuan manusia sampai pada perwujudannya sebagai ilmu (science)
Ilmu adalah terjemahan dari kata science, yang berasal dari kata scinre, artinya to know. Sifat ilmu pengetahuan alam kuantitatif dan obyektif. Ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi, eksperimen, klasifikasi dan analisis. Ilmu itu obyektif dan mengesampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral. Ilmu tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian, karena dimulai dengan fakta, ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif.




B.   Rumasah masalah
a.    Apa yang dimaksud dengan ontologi ?
b.    Apa yang dimaksud dengan epistemologi
c.    Apa yang dimaksud dengan aksiologi?
C.   Tujuan  
a.    Ingin mengetahui apa yang di maksud ontologi dalam filsafat ilmu?
b.    Ingin mengatahui apa yang di  maksud epistemologi dalam filsafat ilmu?
c.    Ingin mengetahui apa yang dimaksud aksiologi dalam filsafat ilmu





















BAB II
PEMBAHASAN

A.   DASAR-DASAR  ILMU PENGETAHUAN                   
Pengetahuan merupakan segala sesuatu yg diketahui manusia. Suatu hal yang menjadi pengetahuan selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahui. Karena itu pengetahuan menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya.
Burhanuddin Salam mengklasifikasikan bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
1.    Pengetahuan biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa pengetahuan ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatau karena menerima secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karen memang merah, orang menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan seterusnya.
2.    Pengetahuan Ilmu (science) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif, seperti ilmu alam dan sebagainya.
3.    Pengetahuan Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
4.    Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.[3]
Jadi perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu, sedangkan ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.[4]
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu.
Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristatoles dan para penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
Dasar ilmu pengetahuan secara subtansial yaitu bertolak dari ontologi, epistemologi, aksiologi. Ketiga dasar ilmu pengetahuan ini menunjukkan bahwa manusia dalam hidupnya harus dapat memahami apa yang akan dilakukan,  bagaimana melakukan hal itu, dan untuk apa hal itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, manusia harus dapat membedakan antara hal-hal yang dapat dilihat , diraba dan dirasa. Demikian juga harus dapat membedakan hal-hal yang bersifat kejasmanian dan kejiwaan. Berikut dikemukakan dasar ilmu pengetahuan yang meliputi ontologi, epitemologi dan aksiologi[5]

1.    Ontologi
Ontologi yang berarti hakekat ilmu berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos adalah ada, dan Logos adalah ilmu, sehingga ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Ontologi merupakan mempercayai keberadaan sesuatu meski tidak terlihat mata, misalnya adalah udara yang dapat dirasakan. Menurut istilah ontology adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak, menurut Jujun s. Suriasumatri ontologi adalah yaitu berbicara tentang hakikat apa yang dikaji, Amsal Bakhtiar mengemukakan bahwa ontologi adalah ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu on/ontos yakni yang ada, dan logos yakni ilmu, sehingga ontologi adalah ilmu tentang  yang ada, menurut istilah ontologi adalah ilmu yang membahasa tentang hakikat yang ada, baik yang berbentuk jasmani /.konkret maupun rohani abstrak.[6]  
Menurut angeles yang dikutib pendapatnya oleh fuad hasan bahwa ontologi berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti “ yang sungguh-sungguh ada”, kenyataan yang sesungguhnya” dan logos yang berarti “ studi tentang “ studi yang membahas sesuatu” . jadi ontologi adalah studi yang membahasa sesuatu yang ada, secara sungguh-sungguh ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yang cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari keyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari kenyataan.[7]
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi yang ada sebagai wujud konkrit dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan tuhan, titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya.
Orang yang pertama kali mempopulerkan term ontology adalah Rudolf Goclenius. Dengan teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis yang dalam perkembangannya dibagi menjadi dua, yaitu metafisis umum dan metafisis khusus.
a.    Metafisis umum merupakan cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar dari segala sesuatu yang ada.
b.    Matafisis khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Setiap individu dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua yang berupa rohani (kejiwaan). Dalam hal ini hakikat menunjukkan kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah. Pengkajian lebih dalam ontologi sebagian dasar ilmu berusaha untuk menjawab apa yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan ilmu mengenai esensi benda.
Secara subtansial, di pemahaman ontology dapat ditemukan pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a.    Monoisme
Paham yang menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paham ini terbagi menjadi dua aliran yaitu :
1)    Materialisme
Menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering pula disebut dengan naturalisme, namun sebenarnya ada sedikit perbedaan.
2)    Idealisme
Berasal dari kata idea yang berarti sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beragam itu berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
b.    Dualisme
Benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani.
c.    Pluralisme
Dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.Nihilisme Berasal dari Bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Pada dasarnya nihil disini berarti ketiadaan. Tidak ada sesuatu yang ada, yang benar, yang berharga. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev. Namun doktrin nihilisme sudah ada pada pandangan Gorgias (483-360SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu :
1)    Tidak ada sesuatu pun yang eksis.
2)    Bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui.
3)    Sekalipun realitas dapat diketahui, ia tidak dapat kita beritahukan kepada orang lain.
d.    Agnostisisme
Agnotisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti Unknown. A artinya not, Gno artinya know. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Dick Hartoko berpendapat Agnotisisme sama dengan skeptisisme yang menyangkal bahwa hakikat sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan metafisik), apalagi pengetahuan mengenai adanya Tuhan dan sifat-sifatnya. Agnotisisme hanya menerima pengetahuan inderawi dan empirik. Tidak menerima adanya analogi.[8]
Menurut paradigma filsafat barat semua orang mengakui memiliki pengetauan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat ? Dari situ timbul pertanyan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau darimana sumber pengetahuan kita ? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang menggunakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antaralain:
a.    Idealisme
idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme atau nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah. Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang tampak dalam wujud nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b.    Empirisme
Paham selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan. Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia.[9]
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme. Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi. Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan. Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya. Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa pengetahuan manusia hanya didapatkan melalui pengamatan konkret, bukan penalaran rasional yang abstrak, apalagi pengalaman kewahyuan dan institusi yang sulit memperoleh pembenaran factual.
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakanbahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (empressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kean-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samara-samar yang dihasilka dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[10]
Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep indrawi, hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya. Jadi dalam empirisme, sumber utamauntuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1)    Indra terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan indralah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahua yang salah.
2)    Indra menipu, pada yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan tersa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga
3)    Objek yang menipu, contohnya fammorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indra, ia membohongi indra.
4)    Berasal dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini indra mata tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kernau itu juga tidak dapt memperlihatkan badanya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indra manusia.[11]
c.    Rasionalisme
Paradigma selanjutnya adalah Rasionalisme, sebuah aliran yang menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui pertimbangan akal. Dalam beberapa hal, akal bahkan dianggap dapat menemukan dan memaklumkan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta empiris. Faham rasionalisme dipandu oleh tokoh seperti Rene Deskrates (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1716). Menurut kelompok ini, dalam setiap benda sebenarnya terdapat ide – ide terpendam dan proposisi - proposisi umum yang disebut proposi keniscayaan yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran dalam kesempurnaan atau keberadaan verifikasi empiris.[12]
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Menurut aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalammemperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, etapi sampainya mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kuasalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.Harun nasution;
Akal, selain bekerja karena ada bahan indra, juga akal dapat menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorag dalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah yang utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat dilakukan.[13]
d.    Positivisme
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau metahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang bekerjasama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.

2.    Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Epistemologi juga disebut teori pengetahun (theory of Knowledge). Secara etimologi istilah epietemologi berasal dari kata Yunani, Epistime,(Pengetahuan) dan Logos ( Teori). Epistemologi dapat didefenisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika pertanyaan pokoknya adalah apaka ada itu? Sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah apa yang dapat saya ketahui?[14]
Epistimologi pada intinya membicarakan tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Berasal dari kata Yunani yaitu episteme, artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan logos artinya juga pengetahuan atau informasi. Jadi dapat dikatakan epistimologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan. Ataudakalanya disebut “teori pengetahuan”, dan adakalanya disebut filsafat pengetahuan.[15]
Cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
a.    Metode Induktif (Induksi)
Metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil obeservasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dick Hartoko berpendapat induksi berasal dari bahasa latin inducere yang berarti mengantar ke dalam, yang secara sederhana merupakan suatu metode, khusus dalam ilmu alam, yang menuju dan menyimpulkan sebuah hipotesa umum dengan berpangkal pada sejumlah gejala sendiri-sendiri.[16]
b.    Metode Deduktif (Deduksi)
Suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
c.    Metode Positivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada bidang gejala-gejala saja.
d.    Metode Kontemplatif
Keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi yang dapat diperoleh dengan berkontemplasi.
e.    Metode Dialektis
Dialektis atau dialektika berasal dari bahasa Yunani Dialektike yang berarti cara/metode berdebat dan berwawancara yang diangkat menjadi sarana dalam memperoleh pengertian yang dilakukan secara bersama-sama mencari kebenaran.[17]
Burhanuddin Salam mengklasifikasikan bahwa pengetahuan yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
a.    Pengetahuan biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa pengetahuan ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatau karena menerima secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karen memang merah, orang menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan seterusnya.
b.    Pengetahuan Ilmu (science) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif, seperti ilmu alam dan sebagainya.
c.    Pengetahuan Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
d.    Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama
e.    Jadi perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu, sedangkan ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.

Teori yang menjelaskan epistemologis adalah sebagai berikut :
1.    Teori korespondensi
Menurut teori korespondensi, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian, kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek. Pengetahuan ini dikatakan benar apabila didalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam
Suatu proposisi atau pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[18]
Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif . yaitu, suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual: atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut :
Dua hal yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyatan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagaimana contoh dapat dikemukakan : « Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia ». pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenarannta terletak pada hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan Bandung adalah ibukota Republik Indonesia, pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.
Suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh proposisi yang saling berhubungan dengan pengalaman kita. Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya, sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan sebagai kepastian yang yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau dianggap salah.
Misalnya jika seseorang mengatakan bahwa, “ITB berada di kota Bandung,” maka pernyataan tersebut adalah benar, sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual yakni Bandung, memang kota dimana ITB berada. Apabila ada orang lain yang menyatakan bahwa “ITB berada di kota Medan,” maka pernyataan itu adalah tidak benar, sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini, maka secara faktual, “ITB bukan berada di kota Medan, melainkan Bandung.”
Misalnya lagi, seseorang mengatakan, “wah lagi hujan nih!” bisa jadi benar, jika pernyataan itu berhubungan dengan realitasnya. Tapi terkadang maksud pernyataannya lebih kepada sindiran, godaan atau yang bersifat menyesatkan. Sehingga secara semantik, pernyataan ini dapat menjadi benar atau salah. Dalam hal ini, yang menjadi tolak ukur kebenarannya, suatu pernyataan haruslah objektif (seperti yang sudah dijelaskan tadi, sesuai dengan realitasnya), misalnya, “wah lagi hujan nih!” memang pernyataan yang berhubungan dengan cuaca pada saat itu, dan bebas dari pikiran seseorang. Misalnya pernyataan “wah lagi hujan nih!” diucapkan sebagai sindiran atas orang yang suka berbicara sambil menyemburkan sedikit liur.
Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: (1) teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Misalnya William, si penulis buku Introduction to Philosophy, dapat mengatakan bahwa pernyataan, “wah lagi hujan nih!” dapat tidak sesuai dengan realitas karena pernyataan tersebut tidak cocok dengan pernyataan lain yang ia anggap benar, misalnya: “jika lagi hujan, dan saya diluar, pasti saya kebasahan.”; tetapi nyatanya ia diluar; dan ia tidak kebasahan. (2) Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.[19]
2.    Teori pragmatisme Tentang kebenaran
Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh Wiliam James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat.
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.[20]
Misalnya ada orang yang menyatakan sebuah teori A dalam komunikasi, dan dengan teori A tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan efektivitas komunikasi, maka teori A itu dianggap benar, sebab teori A ini adalah fungsional atau mempunyai kegunaan.
Evaluasi dari pragmatisme: pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Untuk sesaat, penganut pragmatis mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar karena dipercayai sebagai sesuatu yang pragmatik, yang terbuka bagi penganut teori korespondensi. Contoh nyatanya adalah peta. Penganut pragmatis akan berkata bahwa peta adalah gambaran yang akurat mengenai realitas, karena dapat berguna untuk menunjukkan jalan; sedangkan penganut teori korespondensi berkata bahwa kita dapat menggunakan peta untuk menunjukkan jalan karena peta merupakan gambaran dari realitas.
John H. Randall, Jr dan Justus Buchler memberikan kritik pada teori ini: bahwa istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar. Lalu A.C. Ewing juga memberikan kritik bahwa apa yang berlaku bagi seseorang mungkin saja tidak berlaku bagi orang lainnya; bahkan apa yang berlaku bagi seseorang di waktu tertentu, mungkin saja tidak berlaku bagi dirinya sendiri di waktu yang lain. Misalnya kepercayaan akan adanya Tuhan.
3.    Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalaan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari tuhan.[21]
Suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wayu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh karena itu, sangat wajar ketika Imam al-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemua akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Akhirnya al-Ghazali sampai pada kebenaran yang kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang panjang. Tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran multak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Namun al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang didapat adalah kebenaran sujektif atau inter-subjektif.

3.    Aksiologis
Berasal dari perkataan Axios (Yunani) yang berarti nilai dan Logos yang berarti teori. Aksiologi merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri berpendapat aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Louis O. Kattsoff mendefinisian aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu[22]
Bramel berpendapat aksiologi terbagi dalam tiga bagian.
a.    Moral conduct
Tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.
b.    sthetic expression
Ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
c.    Sosio-political life
Kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
Nilai adalah objek penting yang dibahas dalam aksiologi. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakiki untuk memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak selalu mengarahkan ilmu pengetahuan pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Pada dasarnya semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti dengan aturan atau hukum yang bisa menjamin rasa keadilan masyarakat. Membericarakan nilai dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa pada hal-hal yang buruk.
Masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan teknologi bersifat merusak sehingga terdapat perbedaan pendapat diantara para ilmuwan yang terbagi menjadi dua golongan pendapat. Pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdaskan nilai-nilai moral. Atas dua pendapat diatas, terlihat jelas netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja. Dimana tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan aksiologis para ilmuwan semestinya mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Karena pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah mengenai nilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai adalah harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada kemudahan-kemudahan material duniawi. M. Saekhan Muchith mencontohkan bahwa dari proses penurunan ayat-ayat Al Quran tentang hukum lebih banyak diturunkan di Madinah yang relatif sudah ada perkembangan peradabannya. Ini berarti mengandung makna bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti dengan aturan atau hukum yang bisa menjamin rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa solusi yang diberikan Al Quran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Dihadapkan dengan masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berdaskan nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
     
B.   Jenis-Jenis Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan biasa (common sense) yang digunakan terutama untuk kehiupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Pengetahuan ilmiah atau ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya digunakan saja tetapi ingin mengtahui lebih dalam dan luas untuk mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman.
Ilmu abadi yaitu pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia dalam bentuk kitab suci alquran dan hadist yang disampaikan kepada manusia melalui perantara rasul sebagai utusan Tuhan, ilmu jenis ini merupakan suatu bentuk yang sudah pasti benar dan tidak berubah serta dapat dibuktikan dalam situasi,kondisi dan zaman apapun.
Ilmu yang dicari yaitu pengetahuan yang didapat oleh manusia sebagai hasil dari usaha mencari suatau definisi alam semesta, ilmu jenis ini dapat berubah entah itu bertambah maupun berkurang sesuai dengan hasil riset penemuan manusia sebagai makhluk yang dibekali akal. sebuah ilmu bisa dianggap benar dimasa lalu namun bisa jadi sudah tidak cocok dimasa depan ketika dilakukan penelitian baru.
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai diluar dan diatas pengalaman biasa. Pengetahuan agama, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para Nabi dan Rosulnya. Pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.[23]
Manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, yang dapat diperolehnya dengan melalui beberapa sumber :
1.    Intuisi
Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalnya, seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku, tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikikannya, muncul dalam benaknya, bagaikan kebenaran yang menemukan pintu.
Atau bisa juga dikatakan, intuisi ini bekerja dalam suatu keadaan yang tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan mabuk). Artinya, jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda (pending) karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dalam benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Lalu kita merasa yakin bahwa itulah jawaban yang sedang kita cari, namun kita tidak bisa (belum bisa) menjelaskan bagaiman caranya kita sampai ke sana.
Intuisi biasanya bersifat personal dan tidak bisa diramalkan atau direka-reka. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, maka intuisi ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun pengetahuan intuitif ini bisa juga digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang telah kita kemukakan.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Suatu masalah yang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dibenak kita yang lengkap dengan jawabannya.[24]
Selanjutnya menurut Jujun (2005: 53), Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu dalam menentukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietzchen intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi.
Menurut Henry Bergson dalam A. Tafsir, intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Instuisi ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, akal dan indera hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangka instuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap. Ada sebuah isme lagi yang barang kali mirip dengan intusionisme, yaitu ilumirasionisme. Aliran ini berkembang dikalangan tokoh agama, yang didalam agama Islam disebut Ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan dieroleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan telah sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Selanjtnua menurut Amsal Bakhtiar kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan ( riyadhah). Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat dan Tasawuf. Konon kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukanlewat akal, melainkan lewat hati.
Adapun perbedaan antara intuisis dengan ma’rifat dalam filsafat Barat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinara.[25]
Pengetahuan dan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan objek diluar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang luas harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri (H.A Mustafa, 1997: 106).
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya yang diutusnya sepanjang zaman. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucian jiwa mereka dan diterangkan-Nyapula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan yang berasal dari nabi.
Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenali kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kiamat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supernatural).Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dari penyusunan pengetahuan ini.
Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya untuk dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya bersifat konsisten atau tidak. Dipihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan itu bersifat lain –seperti pengetahuan –bertitik tolak sebaliknya, ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula

2.    Pengetahuan Wahyu
Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar  wahyu yang diberikan oleh tuhan kepada manusia.tuhan telah memberikan pengetahuan dan  kebenaran kepada manusia pilihannya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan firman tuhan. Kebenarannya adalah mutlak dan abadi, pengetahuan wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia[26]
Wahyu juga merupakan salah satu sumber pengetahuan, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan semacam ini hanya disalurkan lewat makhluk-makhluk pilihan-Nya. Agama, merupakan sumber pengetahuan yang bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman/empiri, tetapi juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental; yakni seperti latar belakang penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di akhirat nanti, dan sebagainya.
Pengetahuan semacam ini, mutlak didasarkan kepada kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat ghaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, keselamatan, ketenangan jiwa, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Bukankah suatu kepercayaan merupakan "titik tolak" dalam suatu agama ?.
Suatu pernyataan itu biasanya harus dipercaya dulu untuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Misalnya : Secara rasional dapat dikaji apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Dengan kata lain, agama dimulai dengan rasa percaya, dan dengan melalui pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat (bertambah) atau bahkan menurun (berkurang).
Pengetahuan lain, misalnya seperti ilmu, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa saja bertambah yakin atau barangkali tetap pada pendirian semula.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya yang diutusnya sepanjang zaman. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucian jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan yang berasal dari nabi.[27]
Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenali kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kiamat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dari penyusunan pengetahuan ini.
Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya untuk dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain.Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya bersifat konsisten atau tidak. Dipihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan itu bersifat lain –seperti pengetahuan –bertitik tolak sebaliknya, ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.
3.    Pengetahuan Rasional
Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dari latihan rasio /akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa –peristiwa faktual.[28]
Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal itulah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis benar; bila tidak salah. Dengan akal inilah aturan untuk manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal Teori rasionalis adalah teori para filosof Eropa seperti Descartes (1596– 1650) dan Immanuel Kant ( 1724 – 1804 ) dan lain-lain. Teori-teori tersebut terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi.
a.    Penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsikan panas, cahaya, rasa, dan suara karena penginderaan kita terhadap semua itu.
b.    Kedua, fitriah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitriah. Jiwa menggali gagasan tertentu dari dirinya sendiri
Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr ada penafsiran lain tentang teori rasionalisme adalah bahwa gagasan-gagasan fitri itu ada dalam jiwa secara potensial. Ia mendapatkan sifat fitri bukan bersumber dari indera. Tetapi ia dikandung oleh jiwa tanpa disadarinya. Meskipun demikian, dengan integrasi jiwa, ia menjadi pengetahuan dan informasi yang kita ingat kembali, lantas bangkit secara baru sama sekali, setelah sebelumnya ia tersembunyi dan ada secara potensial.



BAB III
KESIMPULAN

1.    Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos adalah ada, dan Logos adalah ilmu, sehingga ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah ontology adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Rudolf Goclenius (1636 M) Orang yang pertama kali mempopulerkan term ontology.
Dalam persoalan ontology orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita mernerangkan hakikat dari segala yang ada ini?. Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua yang berupa rohani (kejiwaan).
2.    Epistemologi, Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
A.   Metode Induktif
B.   Metode Deduktif,.
C.   Metode Positivisme,
D.   Metode Kontemplatif,
E.   Metode Dialektis
3.    Aksiologi, aksiologi berasal dari perkataan Axios (Yunani) yang berarti nilai dan Logos yang berarti teori. Jadi aksiologi secara sederhana merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai adalah harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada kemudahan-kemudahan material duniawi. M. Saekhan Muchith mencontohkan bahwa dari proses penurunan ayat-ayat Al Quran tentang hukum lebih banyak diturunkan di Madinah yang relatif sudah ada perkembangan peradabannya. Ini berarti mengandung makna bahwa semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti dengan aturan atau hukum yang bisa menjamin rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa solusi yang diberikan Al Quran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.



DAFTAR PUSTAKA

A, Qadir C.2002, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Obor Indonesia,
Bakhtiar Amsal ,2004, Filsafat Ilmu, Cet. I, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Bakhtiar Amsal, 2013, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Cecep Sumarna,2006 Filsafat Ilmu (dari Hakikat menuju Nilai), Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Endang Komar, 2011 Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian ( Bandung: Refika Aditama.
Fuad Hasan, Filsafat Ilmu, ( Jakarta. PT. Rineka Cipta, 2010) hal.223
Hadi, Hardono, 1997, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: kanisius,
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: 2002, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius
Latif Mukhtar .2014, Irientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta : Kencana Prenadamedia Group
MA, Zainuddin, 2006, “Filsafat Ilmu”. Lintas Pustaka. Jakarta
Rachman, Maman, dkk.2008,. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT MKU Universitas Negeri Semarang.
Salam Burhanuddin, 1997, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, cet. I, Jakarta : Rinika Cipta, 1
Suriasumantri, Jujun S.2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan
Supriyadi, Dedi,2009, “Pengantar filsafat Islam”. Pustaka Setia. Bandung
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Sinar Harapan, 2005
Tim Filsafat Ilmu Fakultas UGM, 2010, Filsafat Ilmu, Sebagai Dasar Pengembangan ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty.
Tafsir Ahmad, 2002 Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung : Remaja Rosdakarya,
Tafsir Ahmad ,2010, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi Pengetahuan  ( Bandung: Rosda Karya.
Http://Cahya-Sumirat.Blogspot.Com/ diakses pada hari Sabtu pukul 09:30  WIB tanggal 6 Desember 2014





ABSTRAK
Ilmu filsafat selalu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis atas kemapanan jawaban yang sudah dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Pada zaman sekarang ilmu pengetahuan tidak lagi bagian dari filsafat, akan tetapi filsafat merupakan bagian ilmu pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep - konsep, baik melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman. Pada umumnya jenis pengetahuan dibagi menjadi 6 yaitu pengetahuan langsung (immediate), pengetahuan tak langsung (mediated), pengetahuan indrawi (perceptual), pengetahuan konseptual (conceptual), pengetahuan partikular (particular), pengetahuan universal (universal). Jenis - jenis pengetahuan ditinjau dari sudut bagaimana pengetahuan itu diperoleh, bukan pada bahasan value atau nilai dari pengetahuan tersebut adalah pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam diri seseorang adalah pendidikan, informasi/ media massa, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman, usia. Hakikat dari pengetahuan terdapat dua aspek penting yaitu hal-hal yang diperoleh, dan realitas yang berubah. Sumber dari pengetahuan itu sendiri adalah intuisi, rasional, empirikal atau indra, dan wahyu.






[1] Rachman, Maman, dkk.. Filsafat Ilmu. Semarang: UPT MKU Universitas Negeri Semarang. 2008,hal.67
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. I, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004,hal.125
[3] Burhanuddin salam ,Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, cet. I, Jakarta : Rinika Cipta, 1997.hal. 48
[4] Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 2003.hal. 56
[5] Mukhtar Latif. Irientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014. Hal,77
[6] A, Qadir C., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta : Pustaka Obor Indonesia, 2002.hal,167
[7] Fuad Hasan, Filsafat Ilmu, ( Jakarta. PT. Rineka Cipta, 2010) hal.223
[8] Ibid. Mukhtar Latif.hal. 78-79
[9] Op.Cit. Amsal Bakhtiar, hal.231
[10] Amsial Bakhtiar
[11] Hadi, Hardono, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: kanisius, 1997
[12]  Endang Komar, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian ( Bandung: Refika Aditama.2011) 143
[13] .Op.Cit. Jujun S. Suriasumantri;1998.hal.39
[14] Tim Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, Sebagai Dasar Pengembangan ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty. 2010, hal 32
[15] Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) hal. 212
[16] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 32.
[17] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hal. 149
[18] http://cahya-sumirat.blogspot.com/ diakses pada hari Sabtu pukul 09:30  WIB tanggal 6 Desember 2014
[19] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002.hal.178
[20] MA, Zainuddin,  “Filsafat Ilmu”. Lintas Pustaka. Jakarta, 2006,hal.98
[21] Supriyadi, Dedi, “Pengantar filsafat Islam”. Pustaka Setia. Bandung, 2009.hal.134
[22] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi Pengetahuan  ( Bandung: Rosda Karya. 2010) hal, 86
[23] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (dari Hakikat menuju Nilai), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006, hal.90
[24]Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Sinar Harapan, 2005 )hal. 53.
[25] Op.Cit. Burhanudin Salam, 78
[26] Opcit. Fuad Hasan, 92-93
[27]  Op.Cit. H.A. Mustafa.Hal 107
[28] Op.Cit. Fuad Hasan. Hal.167